• UGM
  • IT Center
Universitas Gadjah Mada Universitas Gadjah Mada
Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan
Program Studi Kebijakan dan Manajemen Kesehatan
Minat Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan
  • Home
  • PROFIL
    • Visi & Misi
    • Dosen & Staf
  • PENDIDIKAN
    • Gelar Kesarjanaan
    • Kurikulum
    • Prospek Karir
    • Peserta Program
    • Tujuan Pendidikan
    • Kompetensi Lulusan
  • PENELITIAN
    • Penelitian
    • Artikel
    • Magang
  • AKADEMIK
    • Berita & Kegiatan
    • RPKPS Mata Kuliah
  • PENDAFTARAN
  • Beranda
  • Artikel
  • page. 4
Arsip:

Artikel

Kapitasi khusus untuk daerah terpencil, bermanfaatkah? Presentasi Alumni KPMAK

ArtikelBuletinSlider Friday, 17 January 2020

The 4th International Symposium for Health Research and 14th National Congress of Indonesian Public Health Association 27 – 30 Nov 2019, Bali

Presentasi oral oleh Karl Pasaribu (KPMAK 2017) mahasiswa bimbingan Dr.drg. Julita Hendrartini, M.Kes, AAK dan dr. Firdaus Hafidz, MPH, Ph.D, AAK dengan judul “Kapitasi khusus untuk daerah terpencil, bermanfaatkah?”

Presentasi hasil penelitian yang dilakukan di Kab Nias Utara. Dari hasil penelitian ditemuka n bahwa dana kapitasi khusus untuk daerah terpencil belum dapat digunakan dengan maksimal akibat terbentur regulasi serta keterbatasan petugas pengelola dana kapitasi di puskesmas. Selain itu ditemukan bahwa dana kapitasi khusus juga belum berhasil menarik minat tenaga kesehatan untuk bekerja di daerah terpencil meskipun dirasakan ada penambahan penghasilan petugas puskesmas. Dengan demikian ditarik kesimpulan bahwa  manfaat dana kapitasi khusus belum dirasakan maksimal bagi puskesmas. (Karl Pasaribu)

Young Health Economics Meeting

ArtikelBuletinSlider Friday, 17 January 2020

Young Health EconomicsBali, 6-8 November 2019

Annie Pratiwi sebagai alumni KPMAK Angkatan 2009 ikut aktif dalam kegiatan Young Health Economics dalam 6th Ina HEA Conference. Kegiatan diikuti oleh 25 peserta dari berbagai wilayah di Indonesia. Para peserta diberikan Capacity Building for Young Health Economics (YHE). Kegiatan ini diadakan oleh Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia dan dibiayai oleh ThinkWell dan USAID. Kegiatan pelatihan dilaksanakan selama 1 hari dengan berbagai topik yang berkaitan dengan Jaminan Kesehatan Nasional, pembiayaan untuk penyakit tidak menular, serta pelatihan penghitungan unit cost. (Annie Pratiwi)

Temu Perdana Mahasiswa KPMAK 2019

ArtikelBuletinSlider Wednesday, 14 August 2019

Tahun 2019 peminatan Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan (KPMAK) Ilmu Kesehatan Masyarakat UGM menerima 7 mahasiswa Pascasarjana setelah dilakukan penyaringan dari banyak calon mahasiswa lainnya.

Bhineka Tunggal Ika sangat terasa dalam angkatan tahun ini, yaitu keberagaman mahasiswa yang  memiliki latar belakang daerah dari Aceh hingga Papua.

“ini sangat menarik ya, berbeda asal daerah dan latar belakang pendidikan, sangat bagus untuk diskusi kita nantinya di kelas” tutur dr. Firdaus Hafidz, MPH, Ph.D, AAK selaku Ketua Minat KPMAK IKM UGM.

Kelas perdana ini dilakukan pada 9 Agustus 2019 yang bertempat di gedung IKM, guna membangun rasa kekeluargaan di angkatan baru tahun 2019. Dihadiri oleh dosen muda dr. Giovanni Van Empel membahas sistim belajar yang diharapkan oleh para mahasiswa baru, didapatkan bahwa terdapat beberapa pendapat yang menyatakan metode belajar yang diinginkan, salah satunya yaitu dengan mengadakan field study atau lebih ditingkatkan kunjungan lapangan seperti ke Rumah Sakit dan BPJS agar diskusi yang dilaksanakan dapat lebih berisi.

mengenai topik mata kuliah yang ingin diajarkan yaitu juga terdapat beragam pendapat. “saya berharap dapat diajarkan dan mengetahui lebih dalam tentang JKN”  ungkap salah seorang mahasiswa yang berasal dari magelang tersebut. selain itu juga banyak yang berharap lebih nantinya akan membahas tentang asuransi kesehatan hingga mengenai pembiayaan kesehatan yang dianggap menarik untuk dipelajari.

 

Cost-effectiveness of hepatitis A vaccination in Indonesia, RITA NOVITA KPMAK 2018

Artikel Tuesday, 25 June 2019

  1. PENDAHULUAN

Terjadinya penyakit yang disebabkan oleh Virus Hepatitis A (VHA) di Indonesia masuk dalam kategori endemik rendah di level negara-negara Asia, namun kejadian kasus infeksi VHA walaupun masuk dalam negara endemic rendah tidak menutup kemungkinan penyebaran infeksi tetap terjadi terutama sebagian remaja  dan orang dewasa yang dalam kondisi rentan terhadap infeksi virus tersebut dalam lingkungan sosialnya, seperti globalisasi, migrasi dan pola perjalanan. Sebagai negara yang berpenghasilan menengah, program sanitasi yang dilakukan masih dalam tahap yang berkelanjutan dan terdapat beberapa daerah sanitasi masih buruk, walaupun dari laporan kejadian infeksi Virus Hepatitis A insiden rendah pada anak-anak tapi manifestasi terjadinya infeksi Virus Hepatitis A pada orang dewasa insidennya cukup tinggi. Pemberian vaksinasi dapat menjadi pilihan dalam upaya pencegahan, telah terbukti dibeberapa negara tindakan vaksisnasi dapat menurunkan insiden terjadinya penularan Virus Hepatitis A demikian juga yang terjadi di Indonesia dengan penularan melalui orang ke orang di komunitas umum, terjadinya wabah virus Hepatitis A yang sering terjadi secara berkala, dapat dilakukan pencegahan dan pengendalian VHA melalui Program Vaksinasi secara luas.

Pelaksanaan program vaksinasi VHA dalam konteks evaluasi ekonomi belum pernah dilakukan di Indonesia, adapun tujuan dari studi ini melakukan evaluasi ekonomi terhadap  program Vaksinasi Virus Hepatiti A dengan menilai efektivitas biaya vaksinasi Hepatitis A di Indonesia, sehingga sangat penting diketahui  secara potensial apakah menguntungkan bagi kesehatan sehingga pemberian Vaksin Hepatitis A dapat masuk dalam Program Imunisasi Nasional. Studi ini melakukan perbandingan pada Vaksin Hepatitis A dengan pemberian satu dosis dan dua dosis berdasarkan perspektif masyarakat, perspektif social, Prospektif kesehatan dan prospektif pelayanan kesehatan  dalam pemberian vaksin VHA.

 

  1. METODOLOGI PENELITIAN

Model

Penelitian ini  menggunakan studi kohort, sample sebanyak 4.200.000 bayi dari tahun 2012, model kohort dengan usia terstruktur  menggunakan pohon keputusan. Model ini melibatkan horizon waktu 70 tahun (rata-rata usia harapan hidup di Indonesia) 28 dengan siklus 1 bulan untuk anak-anak kurang dari 2 tahun dan setiap tahun sesudahnya. Berbeda dari beberapa penelitian sebelumnya 13,19,25 di Asia, studi ini membuat perbandingan penggunaan jadwal vaksin dua dosis vs satu dosis. Model digunakan dalam analisis sensitivitas probabilistik Insiden HVA InfeksiInfeksi di klasifiksi menjadi 4 kategori yaitu, ringan (pengobatan dirumah), moderate (pengobatan oleh dokter umum), severe (rawat inap), dan kasus yang fatal.Karakteristik Vaksin

Vaksin hepatitis A akan diberikan dalam dua dosis pada usia 12 dan 18 bulan dan dalam satu dosis pada usia 12 bulan. Dengan kemanjuran vaksin pada 93% dan 95% untuk dosis pertama dan kedua, berdasarkan vaksin imunogenisitas dan keamanan. Selanjutnya, kami mengasumsikan bahwa dengan jadwal vaksin dua dosis, perlindungan vaksin setiap tahun akan menurun sebesar 0,31% dalam 10 tahun pertama dan 0,62% setelahnya menurut pendapat panel ahli.

Menghitung kerugian QALY

Untuk memperkirakan kerugian QALY, diterapkan data dari beberapa penelitian sebelumnya dengan perkiraan durasi penyakit pada 16, 21, dan 33 d untuk kasus ringan, sedang, dan berat, masing-masing, 28 dan skor disutilitas pada 0,43 untuk negara yang hidup dengan hepatitis A.38 Berdasarkan data tersebut, diperkirakan kerugian QALY, misalnya, kasus ringan pada 0,01885 (16 x 0,43 / 365 d) .39. Penghitungan yang sama untuk memperkirakan kerugian QALY untuk kasus sedang dan berat

Biaya terhadap penyakit Hepatitis A

Estimasi biaya diperoleh dari studi pada tahun 2006 tentang perkiraan biaya unit terkait penyakit akibat sanitasi yang buruk di Indonesia. Biaya perawatan kesehatan akibat infeksi HAV terkait kasus ringan, sedang dan parah diperkirakan berasal dari perawatan rawat jalan / perawatan di rumah informal (misalnya, biaya perawatan sendiri), perawatan rawat jalan formal / perawatan dokter umum (misalnya, biaya langsung medis) dan perawatan rawat inap formal / rawat inap (misalnya, obat, diagnostik, pendaftaran, dan biaya langsung medis lainnya). Biaya perawatan kesehatan ini disusun dari informasi tentang tingkat penyakit, tingkat pencarian pengobatan, praktik pengobatan, dan biaya unit, yang diterapkan di seluruh negeri berdasarkan studi penetapan biaya yang tersedia dan dilakukan di Indonesia.Untuk masyarakat Selain itu, juga dihitung biaya non-medis langsung (misalnya, transportasi) dan biaya tidak langsung (misalnya, kerugian produktivitas). Harga vaksin dan biaya administrasi per dosis diterapkan masing-masing US $ 3,2137 dan US $ 0,36,9, berdasarkan penelitian sebelumnya di Indonesia. Semua hasil dari analisis dikonversi ke US $ pada tahun 2012 dengan menggunakan paritas daya beli (PPP) dan semua biaya didiskon dengan tingkat tahunan sebesar 3%.

Metode Analisis

ICER = (Total biaya dengan vaksinasi – Total biaya tanpa vaksinasi) / (Total QALY diperoleh tanpa vaksinasi – Total QALY diperoleh dengan vaksinasi) ICER dihitung untuk mengukur hasil dari kedua perspektif sehubungan dengan definisi WHO tentang efektivitas biaya vaksinasi universal sesuai dengan PDB per kapita: (1) sangat hemat biaya (kurang dari satu PDB per kapita); (2) hemat biaya (antara 1 dan 3 kali PDB per kapita); dan (3) tidak efektif-biaya (lebih dari 3 kali PDB per kapita) .11

Kami melakukan analisis sensitivitas univariat dan probabilistik (PSA). Analisis sensitivitas univariat dilakukan

 

III. HASIL PENELITIAN

Pemberian jadwal vaksin dua dosis akan mengurangi kasus hepatitis A sebesar 247.694 (65,0%) kasus ringan, 148.670 (65,0%) kasus sedang, 56.064 (68,7%) kasus berat, dan 406 (59,8%) untuk kasus fatal. Untuk vaksin satu dosis akan mengurangi kasus hepatitis A 174.157 (45,7%) kasus ringan, 104.579 (45,7%) kasus sedang , 43.224 (53,0%) dan kasus berat, dan 247 (36,3%) untuk kasus fatal. Vaksinasi hepatitis A akan menghemat 8.917 dan 6.614 dengan diskon kualitas hidup yang disesuaikan (QALYs) untuk pemberian vaksin dua dosis dan satu dosis. Lebih lanjut, itu juga akan menghemat US $ 3.795 148 dan US $ 2.892.20 dari perspektif sosial, dan dari perspektif sosial, itu akan menghasilkan ICER pada US $ 7421 dan US $ 4933 per QALY yang diperoleh untuk kedua jadwal dengan harga vaksin US $ 3,21 per dosis, penerapan vaksin hepatitis A dari perspektif layanan kesehatan akan menghasilkan rasio efektivitas biaya tambahan (ICER) tambahan pada US $ 7510 dan US $ 5025 per QALY yang diperoleh masing-masing untuk jadwal vaksin dua dosis dan satu dosis. Hasil evaluasi ini dengan asumsi cakupan vaksin 80% dan efikasi vaksin 93% (dosis pertama) dan 95% (dosis kedua), vaksinasi 4.200.000 bayi akan mengurangi infeksi HAV oleh 452.834 dan 322.207 kasus ketika menggunakan jadwal vaksin dua dosis dan satu dosis. Mempertimbangkan produk domestik bruto (PDB) tahun 2012 per kapita di Indonesia sebesar US $ 3557,10 hasilnya menegaskan bahwa vaksinasi hepatitis A menggunakan jadwal vaksin dua dosis dan satu dosis akan menjadi intervensi yang hemat biaya dengan perhitungan ICERs. antara 1 dan 3 kali PDB per kapita.       IV.         PEMBAHASANUpaya menurunkan angka kesakitan dan kematian yang disebabkan oleh Virus Hepatitis A di Indonesia menjadi program yang masih terus dilaksanakan, upaya upaya tersebut masih dalam bentuk promotif dengan terus mengkampanyekan hidup bersih dan sehat serta sanitasi yang baik, masih ada upaya lain yang cukup signifikan menekan angka kesakitan dan kematian yang diakibatkan oleh Virus Hepatitis A yaitu dengan upaya preventif berupa pemberian Vaksin anti Virus Hepatitis A namun terbatasnya sumber daya terutama pembiayaan membuat belum di masukkannya vaksin Virus Hepatitis A dalam program nasional, dalam artikel ini sudah cukup jelas memberikan gambaran bahwa pada ambang ICER US $ 7114 (2 kali PDB per kapita), probabilitas untuk penerapan vaksinasi hepatitis A menjadi hemat biaya adalah 38,18% untuk pemberian dosis 2 kali dan 100% pada pemberian satu dosis.Perlu perhatian yang lebih dengan melihat pada manfaat perlindungan jika diberikan vaksin virus Hepatitis A terutama pada pemberian satu dosis terbukti mampu mengendalikan wabah di seluruh masyarakat, sebagai strategi yang sangat efektif jika vaksinasi dimulai lebih awal dan diterapkan dengan cakupan tinggi. Selain itu, dibandingkan dengan jadwal vaksin dua dosis, skema vaksin satu dosis lebih murah dan lebih mudah diterapkan. Namun, dalam kelompok risiko tinggi (seperti anak-anak dengan penyakit hati kronis dan individu yang kebal terhadap kekebalan) untuk hepatitis A, jadwal vaksin dua dosis masih lebih baik. Dalam konteks perspektif ekonomi kesehatan, implementasi jadwal vaksin satu dosis akan lebih realistis untuk diterapkan di Indonesia. Kelemahan dalam penelitian ini karena penelitian ini pertama di Indonesia, kurangnya data lokal spesifik terkait dengan proporsi kejadian untuk semua tingkat keparahan  sehingga dalam mengambil data pembanding peneliti lebih banyak menggunakan data internasional  untuk mencari indikator-indikator yang berhubungan dengan perhitungan evaluasi ekonomi tentang pemberian vaksin VHA. Penelitian ini menggunakan model statis, model statis cenderung melebih-lebihkan hasil efektivitas biaya. Kurangnya data efikasi vaksin terhadap penyakit untuk tingkat keparahan yang berbeda dan kurangnya data empiris tentang efektivitas vaksin terhadap infeksi pada perlindungan satu dosis versus dua dosis dari waktu ke waktu.Untuk penelitian selanjutnya mungkin bisa dilakukan evaluasi ekonomi terhadap program Imunisasi Nasional yang selama ini dilaksanakan sehingga dapat dilakukan evaluasi vaksin-vaksin mana saja yang masih cost efektif, sehingga dalam kebijakan dapat diputuskan bahwa ada vaksin yang masih bisa masuk dalam program Imunisasi Nasional dan mana yang tidak, vaksin yang pada implementasinya dapat diperoleh masyarakat dengan pembiayaan mandiri mengingat semakin berkembangnya pola penyakit namun terbatasnya sumberdaya terutama pembiayaan

Cost and cost-effectiveness of malaria reactive case detection using loop-mediated isothermal amplification compared to microscopy in the low transmission setting of Aceh Province, Indonesia. Yuni Kurniasari KPMAK 2018

Artikel Tuesday, 25 June 2019

Reactive case detection (RACD) merupakan strategi penemuan kasus aktif untuk diagnosis malaria pada individu asymptomatic yang sudah diimplementasikan secara luas di daerah dengan endemik rendah. Penggunaan alat diagnosis standar, microscopy atau Rapid diagnostic test (RDT) memiliki keterbatasan dalam mendeteksi infeksi malaria endemik rendah. Penggunaan loop-mediated isothermal amplification (LAMP) dalam RACD diketahui lebih sensitif, sederhana, tidak memerlukan peralatan canggih, dan dapat dilakukan selama setengah hari sampai satu hari. Namun, berapa biaya dan metode diagnosis mana yang lebih cost effective masih menjadi pertanyaan. Penelitian ini bertujuan untuk memperkirakan berapa biaya jika RACD diimplementasikan menggunakan data dari kabupaten Aceh Besar dan membandingkan cost effectiveness penggunaan metode diagnostik standar (mikroskop) dan LAMP untuk mengidentifikasi infeksi selama program RACD (Section Background, paragraph 2 and 3).

Asesmen kelayakan implementasi RACD dan metode diagnosisnya dilakukan untuk mengaktifkan program eliminasi malaria nasional. Evaluasi ekonomi perlu dilakukan untuk mendapatkan informasi berapa biaya program dan sebagai bahan pertimbangan memilih metode diagnosis yang paling cost effective bagi pengambil kebijakan dan pemegang program di tingkat daerah maupun nasional. Selain itu, hasil evaluasi juga bermanfaat bagi penelitian, pengembangan, dan implementasi alat diagnostik malaria dengan sensitivitas yang tinggi. Metode yang cost effective dan memiliki sensitivitas tinggi dapat menjadi stategi utama untuk system surveylans sehingga dapat mengurangi penularan karena semakin banyak kasus yang ditemukan untuk memfasilitasi pencapaian eliminasi malaria (Section Background, paragraph 3).

Evaluasi ekonomi dalam penelitian ini yaitu mengukur biaya implementasi RACD dan membandingkan cost effectiveness metode standar mikroskop dengan metode diagnostik yang lebih sensitif yaitu LAMP selama program RACD. Batas deteksi metode mikroskop biasanya 100 parasit/μL, namun pada daerah endemik rendah, sebagian besar infeksi asimptomatik berada di bawah ambang batas tersebut. Terdapat metode deteksi yang lebih sensitif yaitu polymerase chain reaction (PCR), namun metode tersebut tidak praktis. Metode molekul lain (LAMP) memiliki sensitivitas seperti PCR dengan persyaratan yang lebih sedikit (Section Background, paragraph 2 and 3).

Evaluasi ekonomi dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan perspektif pemberi layanan (service provider) terkait cost sharing dan donasi. Informasi dari evaluasi ekonomi ini dapat menjadi panduan dalam pembuatan rencana strategis dan rencana anggaran untuk program pengendalian malaria di daerah bagi pengambil kebijakan terkait malaria (Section Discussion, paragraph 6). Metode evaluasi ekonomi yang digunakan adalah cost analysis dan cost effectiveness. Cost analysis yang diukur adalah biaya per kejadian RACD, per orang yang diskrining, per populasi berisiko di setiap kecamatan (PAR), dan per infeksi yang ditemukan. Cost effectiveness yang diukur dalah rasio efektivitas biaya tambahan (ICER), dinyatakan sebagai biaya per infeksi malaria yang terdeteksi oleh LAMP (Section Methods, Study Design).

Biaya per kejadian RACD dan biaya per orang yang diskrining dihitung dengan membagi total biaya pelaksanaan RACD menggunakan mikroskop dan/atau LAMP selama periode penelitian dengan jumlah total kejadian RACD dan individu yang diskrining. Biaya per PAR per tahun dihitung dengan membagi total biaya RACD menggunakan kedua diagnostik oleh populasi dan dengan lama waktu penelitian (20 bulan), kemudian dikalikan dengan 12 bulan untuk menentukan biaya per PAR per tahun. Biaya per infeksi yang ditemukan dihitung sebagai biaya RACD menggunakan mikroskop dan/atau LAMP, dibagi dengan jumlah infeksi yang terdeteksi oleh mikroskop dan/atau LAMP (Section Analysis, Paragraph 3).

Outcome utama dalam penelitian ini adalah jumlah infeksi yang terdeteksi dengan metode LAMP dibandingkan dengan metode mikroskop dalam RACD termasuk berapa kali RACD diselenggarakan dan jumlah orang yang diskrining pada setiap RACD. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur biaya melakukan RACD dan membandingkan efektivitas biaya metode mikroskop dengan metode diagnostik yang lebih sensitif yaitu LAMP. Jadi dalam penelitian ini tidak mengukur outcome kesehatan lebih lanjut setelah terdiagnosis malaria (Section Analysis, Paragraph 1).

Hasil evaluasi ekonomi dalam penelitian ini dikatahui bahwa total biaya yang diperlukan untuk melakukan RACD adalah $42.418. Biaya rata-rata melakukan RACD menggunakan metode mikroskop dan LAMP adalah $1178 per event. Biaya RACD umum (tanpa metode diagnosis tertentu) berjumlah $16.931 atau $11 per individu yang diskrining, dengan tambahan $0,62 per orang untuk metode mikroskop dan $16 per orang untuk metode LAMP. Untuk RACD dengan mikroskop, biaya per infeksi baru yang ditemukan adalah $8930 dibandingkan dengan $6915 untuk RACD dengan LAMP. ICER untuk RACD menggunakan LAMP dibanding mikroskop adalah $5907 per infeksi malaria tambahan yang terdeteksi (Section Discussion, Paragraph 1).

Berdasarkan hasil evaluasi ekonomi diatas, dua kasus infeksi teridentifikasi dengan metode mikroskop dengan biaya $465 per kasus, sedangkan metode LAMP mampu mengidentifikasi 6 kasus dengan biaya $4093 per kasus. Metode LAMP memang lebih mahal daripada metode mikroskop, namun lebih cost effective untuk mendeteksi infeksi malaria karena memiliki sensitivitas diagnosis yang lebih tinggi (Section Discussion, Paragraph 1).

Penelitian ini dilakukan di daerah Aceh Besar dengan tingkat endemik malaria yang rendah. Hasilnya, penggunaan LAMP dalam RACD lebih mahal tetapi lebih efektif untuk mendeteksi infeksi. Jika diterapkan pada daerah lain di Indonesia dengan prevalensi yang lebih tinggi atau menggunakan alat diagnosis yang lebih sensitif jika prevalensinya rendah maka biaya yang dibutuhkan akan semakin rendah dan lebih efektif. Hasil penelitian ini dapat memberi informasi bagi pengambil kebijakan atau pemegang program terkait malaria di daerah lain yang mempunyai karakteristik mirip dengan daerah Aceh Besar untuk mengambil keputusan strategis dan membuat rencana anggaran untuk melakukan system deteksi kasus aktif dengan metode baru sebagai upaya eliminasi malaria (Section Discussion, Last Paragraph).

Salah satu kelemahan dalam penelitian ini adalah tentang generalisasi hasil penelitian, karena setting penelitian ini pada daerah dengan endemik malaria yang rendah dan dengan prevalensi yang rendah. Sehingga dibutuhkan data empiris dari setting yang berbeda dengan metode diagnosis yang lebih canggih untuk meningkatkan generalisasinya. Namun hasil penelitian ini masih dapat menjadi acuan untuk daerah lain di Indonesia yang mempunyai karakteristik sama atau hampir sama dengan daerah Aceh Besar. Selain itu data biaya seperti biaya untuk personil, harga alat diagnosis yang diperlukan termasuk biaya laboratorium akan berbeda di setiap daerah sehingga perlu penyesuain data biaya untuk estimasi biaya dalam penghitungan analisis biaya dan cost effectiveness untuk daerah yang berbeda (Section Discussion, paragraph 6).

 

 

 

 

 

KAJIAN EFEKTIFITAS BIAYA IMUNISASI ROTAVIRUS DI INDONESIA : DENGAN PERTIMBANGAN PEMBERIAN ASI (AIR SUSU IBU) Siti Sangadah KPMAK 2018

Artikel Tuesday, 25 June 2019

Kajian ini bertujuan untuk menilai efektifitas biaya imunisasi rotavirus dengan mempertimbangkan pola pemberian ASI atau air susu ibu.

Meskipun angka kejadian diare meningkat di Indonesia tetapi data rotavirus sebagai penyebab utama diare sangat sedikit didokumentasikan. Hasil surveylan prospektif pada 2006 menunjukkan bahwa infeksi rotavirus adalah penyebab utama diare berat pada anak di bawah 5 tahun terutama pada umur 6 sampai 24 bulan. Pemberian ASI terbukti melindungi dari rotavirus sehingga mencegah terjadinya diare. UNICEF dan WHO merekomendasikan bahwa anak-anak harus diberi ASI selama 6 bulan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian. Pemerintah membutuhkan data manfaat ekonomi dan hasil kesehatan dari program vaksinasi sebelum direkomendasikan menjadi program rutin. Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa imunisasi rotavirus ampuh mencegah kejadian diare tetapi belum mempertimbangkan pemberian ASI.

Penelitian dilakukan pada populasi di bawah 2 tahun dengan membandingkan kelompok yang diberi vaksin tanpa mempertimbangkan pola pemberian ASI dengan tiga kelompok skenario pemberian ASI yakni kelompok ASI eksklusif (EBF), kelompok ASI dengan tambahan (PBF) dan kelompok tanpa ASI (NBF). Data yang digunakan adaah Data Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia Tahun 2007 tentang pola menyusui, dengan populasi umur di bawah 5 tahun. Lalu diklasifikasikan dalam empat level keparahan diare yakni : ringan, sedang, berat dan kematian.

Evaluasi ekonomi dilakukan berdasarkan perspektif pemberi pelayanan kesehatan untuk menggambarkan dampak anggaran pada pelaksanaan vaksinasi rotavirus. (methods, sensitivity and budget impact analyses, section 2)

Metode evaluasi yang digunakan adalah dengan analisis ICER (incremental cost effectiveness ratio) atau menghitung tambahan biaya yang diperlukan untuk menghasilkan  1 tahun kualitas hidup. ICER diperoleh dari data QALY (quality adjusted life year) yang hilang dari bayi dan anak yang sakit, dan data biaya yang dikeluarkan selama sakit. Biaya dihitung dari perspektif pelayanan kesehatan (hanya biaya pengobatan langsung) dan perspektif sosial. Perspektif sosial meliputi biaya medis langsung seperti obat, diagnosa dan biaya tempat tidur saat dirawat, biaya non medis yakni transportasi dan biaya tidak langsung yakni produktivitas yang hilang karena sakit.

Analisis ICER dilakukan dari kasus dasar tanpa memerhitungkan pola pemberian ASI dan tiga scenario. Evaluasi vaksinasi rotavirus di Indonesia menggunakan defenisi dari WHO tentang efektifitas biaya imunisasi secara global berdasarkan GDP per kapita, yakni (i) sangat efektif (kurang dari 1 kali GDP per kapita); (ii) efektif (antara 1 sampai 3 kali GDP per kapita); dan (iii) tidak efektif (lebih dari 3 kali GDP per kapita).

Penelitian ini menggunakan Decision Tree Model berdasar kelompok usia secara kohort, yang dikembangkan oleh Universitas Groningen dengan nama “Consensus Model on Rotavirus Vaccination” atau CoRoVa yang digunakan pada negara berkembang dan negara maju untuk menilai seberapa efektif biaya dan keterjangkauan penggunaan imunisasi rotavirus secara global. Model ini dipakai karena mempermudah menjelaskan semua parameter

epidemiologi, aspek ekonomi dan karakteristik vaksin dan potensi menurunnya kemampuan imunitas. Harga vaksin yang digunakan adalah harga vaksin yang disubsidi oleh GAVI dan harga vaksin di pasaran.

Pada kasus dasar dengan harga pasar vaksin US$5 per dosis, diperoleh ICER sebesar US$174 dari perspektif sosial dan US$181 dari perspektif pelayanan kesehatan, jauh dibawah GDP per kapita Indonesia Tahun 2011 sebesar US$3495. Ini menegaskan bahwa pemberian imunisasi rotavirus sangat hemat biaya. Jika melihat dari 3 skenario pola pemberian ASI maka diperoleh bahwa scenario 3

memberikan menurunkan biaya paling sedikit dibandingkan 2 skenario lainnya. Dengan pemberian ASI di bawah 2 tahun yang optimal, efektivitas biaya akan meningkat menjadi US203 dan US$197 dari kedua perspektif, tetapi angka ini masih jauh di bawah ambang batas WHO untuk efektifitas biaya.

Jika menggunakan ambang batas GDP Indonesia US$3495 maka ICER dari kasus dasar dan semua skenario dapat diterima. Ini berarti bahwa imunisasi rotavirus secara biaya sangat hemat. Agar vaksin rotavirus terjangkau untuk dapat diimplementasikan, dari hasil perhitungan harga vaksin yang disubsidi (US$0,3) dan harga pasar, maka minimal anggaran yang harus disediakan pemerintah adalah US$ 10.175.000 untuk vaksin yang bersubsidi atau US$ 64.940.000 untuk vaksin dengan harga pasar.

Dari hasil penelitian di atas, diperoleh bahwa imunisasi rotavirus menurunkan angka kejadian diare untuk anak di bawah 5 tahun. Beban biaya akibat diare menjadi lebih rendah jika mempertimbangkan pola pemberian ASI. Penelitian ini juga menguatkan hasil penelitian sebelumnya bahwa imunisasi ini sangat hemat biaya untuk dapat diimplementasikan dalam sebuah program. Tetapi jika dihitung anggaran yang harus disediakan untuk penyelenggaraan program yang mencapai hampir sepertiga anggaran total program imunisasi, pemerintah agaknya akan kesulitan mengadakan vaksin jika tanpa subsidi GAVI. Solusi yang bisa diambil adalah dengan produksi vaksin di Indonesia untuk menekan biaya, dan menjamin ketersediaan vaksin.

Costs And Cost-Effectiveness Of Malaria Reactive Case Detection Using Loop-Mediated Isothermal Amplification Compared To Microscopy In The Low Transmission Setting Of Aceh Province, Indonesia Mianti Nurrizky Sutejo Mahasiswa KPMAK 2018

Artikel Tuesday, 25 June 2019

RACD pada kasus malaria menjadi efektif sebagai screning untuk mendeteksi malaria secara dini di kalangan masyarakat. Berdasarkan hal tersebut penelitian ini dilakukan dengan tujuan yaitu : 1. Memperkirakan biaya pelaksanaan RACD menggunakan data dari kabupaten penghilang malaria di wilayah Serambi Aceh, Indonesia dan 2. Membandingkan efektivitas biaya dan jumlah biaya yang dikeluarkan pada saat melakukan penelitian dengan standar diagnosis (mikroskop) atau dengan sesuatu lebih sensitif (LAMP) untuk mengidentifikasi jumlah infeksi selama RACD (Section Background paragraf ke 3). Pentingya penelitian ini dilakukan berkaitan dengan evaluasi ekonomi yang dilakukan untuk melihat biaya dan keefektifan biaya yang dikeluarkan mengenai deteksi kasus reaktif (RACD) dengan menggunakan perbandingan alat mikroskop dan LAMP dengan melihat alat mana yang lebih efektif untuk melihat seberapa banyak infeksi malaria tersebar di kalangan masyarakat. Deteksi kasus reaktif (RACD), atau penemuan kasus aktif di antara rumah tangga dan tetangga dari kasus indeks yang diidentifikasi secara pasif, adalah strategi untuk mengatasi tantangan ini. Tujuan dari RACD adalah identifikasi dan pengobatan infeksi tanpa gejala atau infeksi lain yang tidak akan muncul melalui sistem pengawasan pasif, hal ini dianggap sebagai strategi malaria utama untuk mengumpulkan informasi pengawasan dan dapat mengurangi penularan dan memfasilitasi pencapaian eliminasi malaria. Pada RACD intervensi yang digunakan yaitu mikroskop dan LAMP, pada kedua alat tersebut akan dibandingkan hasil keefektifitasannya pada kasus malaria (Section Background paragraf ke 1 dan 2).

 

Sebagai bagian dari strategi eliminasi malaria, Dinas Kesehatan Kabupaten pada 2010 memprakarsai RACD, yang secara lokal disebut sebagai ‘survei kontak’. Setelah mikroskop yang dikonfirmasi kasus malaria didiagnosis di fasilitas kesehatan, staf surveilans yang ditunjuk mengunjungi desa kasus indeks untuk melakukan tes malaria di antara anggota rumah tangga dan tetangga, hal tersebut menjadi dasar perspektif untuk melakukan evaluasi ekonomi (Section metode, Sub Study location paragraf 1).

 

Metodologi Penelitian Metode evaluasi yang digunakan yaitu cost effectiveness yaitu untuk melihat keefektifan biaya yang dikeluarkan untuk mendeteksi seberapa sensitif alat yang digunakan untuk mendeteksi masyarakat yang terinfeksi malaria. Ukuran efektivitas biaya utama adalah rasio efektivitas biaya tambahan (ICER), dinyatakan sebagai biaya per infeksi malaria yang terdeteksi oleh LAMP dibandingkan dengan mikroskop (Section Methods, sub Study design kalimat pertama). Pengukuran biaya pada penelitian evaluasi memperkirakan biaya yang terkait dengan mikroskop versus LAMP, biaya RACD dipisahkan menjadi ‘biaya RACD umum’ dan ‘biaya spesifik diagnostik’. Biaya RACD umum mencakup kegiatan rutin yang terkait dengan RACD seperti kunjungan lapangan, termasuk waktu untuk persiapan, perjalanan, dan menyaring rumah tangga. Biaya spesifik diagnostik untuk mikroskop dan LAMP dihitung dengan mengisolasi personil, pelatihan, bahan habis pakai, waktu pemrosesan, layanan dari biaya RACD umum, termasuk biaya per RACD dan biaya per individu yang diskrining dihitung dengan membagi total biaya untuk melakukan RACD menggunakan mikroskop dan / atau LAMP selama periode penelitian dengan jumlah total kejadian RACD dan individu yang disaring (Election Analysis paragraf 2 dan 3). Pengukuran Health outcome pada penelitian tersebut  melihat ukuran hasil utama dari jumlah infeksi yang terdeteksi oleh LAMP versus mikroskop pada RACD, apakah lebih efektif menggunakan LAMP atau mikroskop untuk memperoleh  hasil yang sensitif mengenai jumlah orang yang terinfeksi kasus malaria (Election analysis paragraf 1). Pada penelitian ini tidak terdapat modeling yang menjelaskan mengenai bagaimana proses evaluasi ekonomi dilakukan pada penelitian tentang detektif kasus reaktif pada malaria menggunakan mikroskop versus LAMP pada masyarakat.



Hasil PenelitianHasil pengukuran evaluasi ekonomi tersebut pertama dilihat dari biaya spesifik antara mikroskop versus LAMP. Total biaya spesifik menggunakan mikroskop sebesar $929 dengan kisaran biaya yang harus dikeluarkan per individu yaitu $ 0,62, sedangkan pada LAMP total biaya yang dikeluarkan yaitu $24,557, hal tersebut setara biaya yang dikeluarkan sebesar $16 per individu (section Result sub Cost and cost‑effectiveness by microscopy versus LAMP, paragraf 1). Berdasarkan estimasi untuk mengidentifikasi biaya per infeksi di dalam RACD dan ICER dalam mengidentifikasi jumlah infeksi menggunakan LAMP versus mikroskop, dengan hasil prevalensi sebesar 33% pada RACD penggunaan LAMP diidentifikasi jauh lebih sensitif hasilnya dibandingkan mikroskop meskipun biaya yang dikeluarkan lebih besar per individu (section figur 3).Berdasarkan biaya total biaya yang dikeluarkan ketika menggunakan mikroskop versus LAMP, kemudian berdasarkan hasil ICER, hasil ICER pada penelitian ini dapat dilihat dari biaya serta jumlah infeksi virus malaria yang terdeteksi, jadi semakin sensitif alat tersebut untuk mengidentifikasi virus malaria maka semakin bagus alat tersebut digunakan, namun biaya yang dikeluarkan juga menjadi salah satu pertimbangan.  Pembahasan 

Hasil penelitian berdasarkan implikasi yaitu pada RACD atau skrining dan pengobatan lokal untuk melaporkan biaya dari pengaturan transmisi yang rendah, biaya menggunakan diagnostik yang sangat sensitif, dan efektivitas biaya menggunakan diagnostik yang sangat sensitif versus standar dalam aktif deteksi kasus. Singkatnya, dalam pengaturan transmisi yang rendah di Aceh Besar, biaya RACD per individu yang disaring ternyata tinggi, meskipun biaya per PAR rendah. Dibandingkan dengan mikroskop, penggunaan LAMP dalam RACD lebih mahal tetapi lebih efektif untuk mendeteksi infeksi dengan hasil yang semakin berkurang yang diamati ketika temuan diekstrapolasi ke skenario dengan prevalensi yang lebih tinggi, atau menggunakan diagnostik yang lebih sensitif ketika prevalensi sangat rendah (section discussion, paragraf 7/8).

 

Terdapat keterbatasan pada penelitian ini yaitu, estimasi biaya personil bergantung pada alokasi waktu yang dilaporkan sendiri. Selanjutnya, karena beberapa kasus dalam pengaturan transmisi rendah ini, ada keterbatasan untuk generalisasi studi dan ketepatan estimasi ICER. Ekstrapolasi untuk mempertimbangkan pengaruh prevalensi infeksi dan hasil diagnostik dilakukan, tetapi mengasumsikan faktor tetap lainnya (epidemiologis, atau terkait biaya), dalam implementasi dunia nyata, beberapa faktor yang relevan dapat berubah dan memengaruhi biaya, misalnya, efektivitas biaya LAMP dapat ditingkatkan dengan potongan harga untuk LAMP atau diagnostik lain yang lebih murah (section discussion, paragraf 6)

 

Penerapan INA-CBG dalam Pelaksanaan JKN “Apa Permasalahannya?” Rita Novita, Mianti dan Yuni Kurniasari Mahasiswa KPMAK FKKMK UGM 2018

ArtikelSlider Tuesday, 25 June 2019

Implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dimulai 1 Januari 2014. Sistem Indonesian Case Base Groups (INA-CBG) digunakan sebagai metode pembayaran pelayanan baik rawat jalan maupun rawat inap kepada Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL). Pedoman pelaksanaan INA-CBG sudah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 76 Tahun 2016.

Permasalahan yang sering disampaikan dalam pelaksanaan INA-CBG adalah terjadi selisih biaya antara tarif paket INA-CBG dan biaya riil yang dianggap tidak mencukupi. Berdasarkan permasalahan tersebut, salah satu kasus yang diangkat dalam selisih biaya antara tarif paket INA-CBG dengan biaya riil adalah pada kasus keteraturan siklus kemoterapi.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tusshaleha (2018) di RSUP Sanglah Denpasar tentang  besarnya perbedaan tarif riil dengan paket INA CBGs pada pasien rawat inap kemoterapi kanker rektum selama 4 kali siklus terapi di RSUP Sanglah Denpasar periode Januari-Agustus 2014, menunjukkan selisih rata-rata biaya positif antara biaya riil dengan tarif INA-CBG yaitu :

  • pada C-4-13-I:
  • kelas perawatan I Rp 3.716.554;
  • kelas perawatan 2 Rp 2.930.222;
  • kelas perawatan 3 Rp 3.009.750.
  • Pada C-4-13-II:
  • kelas perawatan 1 Rp 7.680.392;
  • kelas perawatan 3 Rp 6.351.268
  • Pada C-4-13-III:
  • kelas perawatan 1 Rp 10.179.575;
  • kelas perawatan 3 Rp 10.031.690.

Biaya akomodasi (biaya sewa kamar dan tindakan keperawatan) merupakan komponen biaya tertinggi pada biaya riil. Pola siklus kemotherapi yang tidak teratur (pasien tidak patuh terhadap jadwal kemotherapi) memiliki rata-rata biaya riil yang lebih besar dibandingkan dengan pola siklus kemoterapi yang teratur. Perbedaan tersebut dapat disebabkan karena kurang pahamnya rumah sakit untuk menyusun tarif yang diberlakukan di rumah sakitnya.

Penerapan INA-CBG masih menimbulkan kendala di beberapa Rumah Sakit di Indonesia. Menurut Langenbrunner dkk. (2009), implementasi metode pembayaran dengan CBG seharusnya dilakukan reformasi kesehatan secara bertahap (Step-by-step implementation).

Reformasi pelayanan kesehatan meliputi:

  • Penguatan pelayanan kesehatan primer;
  • Perbaikan sistem manajemen rumah sakit;
  • Memperbarui mekanisme pembiayaan provider kesehatan melalui sistem pembayaran single payer;
  • Spesifikasi paket manfaat dasar dan kasus-kasus tertentu seperti daftar obat rawat jalan,
  • Mekanisme copayment;
  • Memperkuat sistem manajemen pelayanan kesehatan;
  • Memperkuat program prioritas,
  • Mempromosikan pengobatan berbasis bukti;
  • Penggunaan obat yang rasional;
  • Meningkatkan infrastruktur fasilitas kesehatan,
  • Kualitas pelayanan dan akreditasi provider.

 

Referensi:

Langenbrunner, J. C., Cashin, C. and Dougherty, S. O. (2009) How-To Manuals.

Tusshaleha, L. A. (2018) ‘An analysis on the compatibility of real cost and ina-cbgs cost determination in rectum cancer chemotherapy patient to the implementation of national health insurance in sanglah central general hospital of denpasar in 2014’, Jurnal Ilmiah Mandala Education, 4(1), pp. 156–162.

1234
Universitas Gadjah Mada

SEKRETARIAT MINAT KEBIJAKAN PEMBIAYAAN DAN MANAJEMEN ASURANSI KESEHATAN
Gedung IKM Lantai 2, Jl. Farmako Sekip Utara, Yogyakarta – 55281
Email : yuni.kpmak@ugm.ac.id
Telp/fax : 0274-544044
Website : kpmak.fk.ugm.ac.id

© KP-MAK FK-KMK Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY