(Rabu, 2 Desember 2020)-Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan dengan Pusat KPMAK FK-KMK UGM menyelenggarakan Webinar Koordinasi antara Penyelenggara Jaminan Kesehatan sebagai respon dan update kesiapan pentahapan kebijakan kelas standar rawat inap dalam program JKN tahun 2022. Webinar mengundang para narasumber yaitu dr. Maya A. Rusady, M.Kes, AAK (Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Kesehatan), Muttaqien, MPH, AAK (Anggota DJSN),dr, Tonang Dwi Ardyanto, Sp.PK, PhD (PERSI) kemudian pembahas oleh Ery Setiawan, SKM., ME., AAAK (USAID Health Financing Activity – National Social Security Council) dan Vini Aristiani, SKM, MPH,AAK (Peneliti Pusat KPMAK) sebagai moderator.
Prof Laksono menyampaikan bahwa pembahasan standar menjadi isu kunci pada pengembangan sistem BPJS Kesehatan yang lebih baik, karena realitanya PBPU kelas I, II dan III yang menimbulkan banyak defisit di BPJS. Periode 2014 – 2018, kelompok PBPU menengah keatas defisit sekitar 60 Triliun dan ini harus ditutup oleh segmen lainnya dan juga dari pemerintah.
Ide mengenai adanya kelas standar rawat inap ini muncul karena KRI JKN merupakan amanah dari UU No 40 Tahun 2004 tentang SJSN khususnya pasal 19 ayat 1 dalam mendorong Prinsip Asuransi Sosial dan Prinsip Ekuitas. Proses transisi yaitu pada saat ini masih terdapat kelas-kelas perawatan (kelas I,II,III), kemudian untuk transisi awal akan ada kelas A dan kelas B. Kelas A akan diberikan kepada peserta yang dibiayai oleh pemerintah atau kelas PBI dan kelas B akan digunakan oleh peserta yang tidak dibiayai oleh pemerintah-(Muttaqien).
Perlu memastikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan dapat dijangkau oleh seluruh peserta, sebenarnya BPJS sendiri tentunya menunggu ketetapan dari regulasi terkait KDK dan KRI tersebut termasuk penyesuaian tarif, penyesuaian iuran dan lain sebagainya. Saat ini penentuan klasifikasi kelas standar belum ada sehingga perlu untuk kita melakukan standarisasi-(dr. Medianti Ellya P).
Adapun ketentuan kenaikan kelas/perawatan di poli eksekutif saat ini mengacu pada Permenkes Nomor 51 Tahun 2018 tentang Pengenaan Urun Biaya dan Selisih Biaya dalam Program Jaminan Kesehatan. Bagi RS, koordinasi manfaat sudah lama dibahas dan bagi sebagian RS, masih ada yang belum merasakan sekitar 50% yang pernah merasakan CoB dan kebanyakan yang merasakan RS besar seperti di kota sedangkan RS kecil masih belum merasakan itu sedangkan pada tahun depan sudah diganti lagi, itu adalah hal yang dirasakan sebagian anggota kami di PERSI-(dr.Tonang).
Prinsip dasar koordinasi manfaat berkaitan dengan pada penanggulangan manfaat yang sama oleh dua penanggung. Pada konteks top up benefit, menggunakan mekanisme yang berbeda dengan CoB yang saat ini diatur lebih kepada manfaat medis. Perbedaan konsep urun biaya dan selisih biaya dengan merujuk pada definisi operasional Permenkes Nomor 51 Tahun 2018 yakni urun biaya, ada isu penyalahgunaan utilisasinya sedangkan selisih biaya, lebih kepada tambahan biaya peserta pada saat memperoleh manfaat layanan yang lebih tinggi dari haknya misalnya naik kelas-(Ery Setiawan).