Reactive case detection (RACD) merupakan strategi penemuan kasus aktif untuk diagnosis malaria pada individu asymptomatic yang sudah diimplementasikan secara luas di daerah dengan endemik rendah. Penggunaan alat diagnosis standar, microscopy atau Rapid diagnostic test (RDT) memiliki keterbatasan dalam mendeteksi infeksi malaria endemik rendah. Penggunaan loop-mediated isothermal amplification (LAMP) dalam RACD diketahui lebih sensitif, sederhana, tidak memerlukan peralatan canggih, dan dapat dilakukan selama setengah hari sampai satu hari. Namun, berapa biaya dan metode diagnosis mana yang lebih cost effective masih menjadi pertanyaan. Penelitian ini bertujuan untuk memperkirakan berapa biaya jika RACD diimplementasikan menggunakan data dari kabupaten Aceh Besar dan membandingkan cost effectiveness penggunaan metode diagnostik standar (mikroskop) dan LAMP untuk mengidentifikasi infeksi selama program RACD (Section Background, paragraph 2 and 3).
Asesmen kelayakan implementasi RACD dan metode diagnosisnya dilakukan untuk mengaktifkan program eliminasi malaria nasional. Evaluasi ekonomi perlu dilakukan untuk mendapatkan informasi berapa biaya program dan sebagai bahan pertimbangan memilih metode diagnosis yang paling cost effective bagi pengambil kebijakan dan pemegang program di tingkat daerah maupun nasional. Selain itu, hasil evaluasi juga bermanfaat bagi penelitian, pengembangan, dan implementasi alat diagnostik malaria dengan sensitivitas yang tinggi. Metode yang cost effective dan memiliki sensitivitas tinggi dapat menjadi stategi utama untuk system surveylans sehingga dapat mengurangi penularan karena semakin banyak kasus yang ditemukan untuk memfasilitasi pencapaian eliminasi malaria (Section Background, paragraph 3).
Evaluasi ekonomi dalam penelitian ini yaitu mengukur biaya implementasi RACD dan membandingkan cost effectiveness metode standar mikroskop dengan metode diagnostik yang lebih sensitif yaitu LAMP selama program RACD. Batas deteksi metode mikroskop biasanya 100 parasit/μL, namun pada daerah endemik rendah, sebagian besar infeksi asimptomatik berada di bawah ambang batas tersebut. Terdapat metode deteksi yang lebih sensitif yaitu polymerase chain reaction (PCR), namun metode tersebut tidak praktis. Metode molekul lain (LAMP) memiliki sensitivitas seperti PCR dengan persyaratan yang lebih sedikit (Section Background, paragraph 2 and 3).
Evaluasi ekonomi dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan perspektif pemberi layanan (service provider) terkait cost sharing dan donasi. Informasi dari evaluasi ekonomi ini dapat menjadi panduan dalam pembuatan rencana strategis dan rencana anggaran untuk program pengendalian malaria di daerah bagi pengambil kebijakan terkait malaria (Section Discussion, paragraph 6). Metode evaluasi ekonomi yang digunakan adalah cost analysis dan cost effectiveness. Cost analysis yang diukur adalah biaya per kejadian RACD, per orang yang diskrining, per populasi berisiko di setiap kecamatan (PAR), dan per infeksi yang ditemukan. Cost effectiveness yang diukur dalah rasio efektivitas biaya tambahan (ICER), dinyatakan sebagai biaya per infeksi malaria yang terdeteksi oleh LAMP (Section Methods, Study Design).
Biaya per kejadian RACD dan biaya per orang yang diskrining dihitung dengan membagi total biaya pelaksanaan RACD menggunakan mikroskop dan/atau LAMP selama periode penelitian dengan jumlah total kejadian RACD dan individu yang diskrining. Biaya per PAR per tahun dihitung dengan membagi total biaya RACD menggunakan kedua diagnostik oleh populasi dan dengan lama waktu penelitian (20 bulan), kemudian dikalikan dengan 12 bulan untuk menentukan biaya per PAR per tahun. Biaya per infeksi yang ditemukan dihitung sebagai biaya RACD menggunakan mikroskop dan/atau LAMP, dibagi dengan jumlah infeksi yang terdeteksi oleh mikroskop dan/atau LAMP (Section Analysis, Paragraph 3).
Outcome utama dalam penelitian ini adalah jumlah infeksi yang terdeteksi dengan metode LAMP dibandingkan dengan metode mikroskop dalam RACD termasuk berapa kali RACD diselenggarakan dan jumlah orang yang diskrining pada setiap RACD. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur biaya melakukan RACD dan membandingkan efektivitas biaya metode mikroskop dengan metode diagnostik yang lebih sensitif yaitu LAMP. Jadi dalam penelitian ini tidak mengukur outcome kesehatan lebih lanjut setelah terdiagnosis malaria (Section Analysis, Paragraph 1).
Hasil evaluasi ekonomi dalam penelitian ini dikatahui bahwa total biaya yang diperlukan untuk melakukan RACD adalah $42.418. Biaya rata-rata melakukan RACD menggunakan metode mikroskop dan LAMP adalah $1178 per event. Biaya RACD umum (tanpa metode diagnosis tertentu) berjumlah $16.931 atau $11 per individu yang diskrining, dengan tambahan $0,62 per orang untuk metode mikroskop dan $16 per orang untuk metode LAMP. Untuk RACD dengan mikroskop, biaya per infeksi baru yang ditemukan adalah $8930 dibandingkan dengan $6915 untuk RACD dengan LAMP. ICER untuk RACD menggunakan LAMP dibanding mikroskop adalah $5907 per infeksi malaria tambahan yang terdeteksi (Section Discussion, Paragraph 1).
Berdasarkan hasil evaluasi ekonomi diatas, dua kasus infeksi teridentifikasi dengan metode mikroskop dengan biaya $465 per kasus, sedangkan metode LAMP mampu mengidentifikasi 6 kasus dengan biaya $4093 per kasus. Metode LAMP memang lebih mahal daripada metode mikroskop, namun lebih cost effective untuk mendeteksi infeksi malaria karena memiliki sensitivitas diagnosis yang lebih tinggi (Section Discussion, Paragraph 1).
Penelitian ini dilakukan di daerah Aceh Besar dengan tingkat endemik malaria yang rendah. Hasilnya, penggunaan LAMP dalam RACD lebih mahal tetapi lebih efektif untuk mendeteksi infeksi. Jika diterapkan pada daerah lain di Indonesia dengan prevalensi yang lebih tinggi atau menggunakan alat diagnosis yang lebih sensitif jika prevalensinya rendah maka biaya yang dibutuhkan akan semakin rendah dan lebih efektif. Hasil penelitian ini dapat memberi informasi bagi pengambil kebijakan atau pemegang program terkait malaria di daerah lain yang mempunyai karakteristik mirip dengan daerah Aceh Besar untuk mengambil keputusan strategis dan membuat rencana anggaran untuk melakukan system deteksi kasus aktif dengan metode baru sebagai upaya eliminasi malaria (Section Discussion, Last Paragraph).
Salah satu kelemahan dalam penelitian ini adalah tentang generalisasi hasil penelitian, karena setting penelitian ini pada daerah dengan endemik malaria yang rendah dan dengan prevalensi yang rendah. Sehingga dibutuhkan data empiris dari setting yang berbeda dengan metode diagnosis yang lebih canggih untuk meningkatkan generalisasinya. Namun hasil penelitian ini masih dapat menjadi acuan untuk daerah lain di Indonesia yang mempunyai karakteristik sama atau hampir sama dengan daerah Aceh Besar. Selain itu data biaya seperti biaya untuk personil, harga alat diagnosis yang diperlukan termasuk biaya laboratorium akan berbeda di setiap daerah sehingga perlu penyesuain data biaya untuk estimasi biaya dalam penghitungan analisis biaya dan cost effectiveness untuk daerah yang berbeda (Section Discussion, paragraph 6).